Soal ujian akhir semester Landasan dan Problematikan
Pendidikan
1.
Landasan kultural
pendidikan
a.
Berikan tanggapan atas
pernyataan tersebut! Bagaimanakah pandangan ini diterapkan dalam masyarakat
yang menganut highcontex culture?
Jawab :
Untuk memahami pengertian pendidikan budaya secara utuh
akan diawali dengan pengertian budaya atau kebudayaan dalam kehidupan sosial
atau makhluk budaya. Definisi klasik yang disusun oleh Tylor menyebutkan bahwa
kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang
diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau dalam pengertian
sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Selanjutnya dalam Kamus
Bahasa Indonesia mendefinisikan (a) kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia, antara lain kepercayaan, keseniaan, dan
adat istiadat; (b) Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan dan pengalamannya serta
yang menjadi pedoman tingkah lakunya (suatu pendekatan antropologi).
Kebudayaan sebagai kata majemuk dari “budi” yang berarti
potensi kemanusiaan berupa fitrah dan hati nurani dan “daya” sebagai kekuatan
dan perekayasaan merupakan aktualisasi dari potensi manusia dalam wilayah
pikir, rasa, dan kemauan. Dengan kata lain, dari segi prosesnya, kebudayaan
adalah pendayagunaan segenap potensi kemanusiaan agar berbudi dan manusiawi.
Sedangkan dari segi hasil kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh
rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka
meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Dari uraian tersebut maka kebudayaan
bersifat universal, kebudayaan bersifat local dan bukan universal. Setiap suku
bangsa di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda-beda terdapat dalam
seluruh kehidupan sosial, meskipun perwujudannya menunjukkan ciri-ciri khusus
sesuai dengan situasi, waktu, dan tempat masing-masing.
Untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai adi budaya
bangsa kepada seluruh komponen bangsa ini tentu saja hanya dapat dilakukan
melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Hubungan antara
kehidupan budaya dan pendidikan dengan perubahan sosial, khususnya mengenai
pergeseran nilai-nilai yang berkaitan dengan penguatan character building
bangsa bagaimanapun merupakan persoalan yang menarik. Masalah tersebut tidak
dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan berkaitan dengan kemampuan
pendidikan dalam menuntaskan persoalan besar seputar perubahan nilai dengan
segala implikasi sosial budaya yang mengiringinya. Bagaimana pengembangan pendidikan budaya beragam (multicultural
education) sehingga menjadi kekuatan institusional bagi proses revitalisasi
nilai budaya pada masyarakat yang menganut konteks budaya tinggi (highcontex
culture) dalam konteks perubahan nilai, baik yang sedang berlangsung maupun
pada masa yang akan datang, merupakan pokok bahasan yang saat ini dirasakan
sangat urgent mengingat berbagai persoalan yang mendera negeri ini secara
beruntun.Pertanyaan tersebut diatas dapat dijelaskan dengan pertama kali
melakukan kaji ulang secara makro terhadap konsepsi pendidikan itu sendiri
dalam kerangka filosofis yang digunakan. Pentingnya tinjauan mengenai kerangka
filosofis pendidikan karena kedudukannya sebagai kerangka acuan dalam
meletakkan pendidikan dalam hubungannya menjawab persoalan yang telah
dikemukakan. Dalam tataran konseptual filosofis, pendidikan memang dipahami
dari perspektif berbeda. Perbedaan demikian akan berakibat pada perbedaan dalam
memberikan titik tekan pada proses pendidikan, yaitu pada muatan materi yang
diberikan. Di samping itu juga akan berimplikasi pada kepentingan pembaharuan
pendidikan sesuai dengan perkembangan yang terjadi di luar konteks pendidikan.
Berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa salah satu
fungsi pendidikan adalah sebagai lembaga konservasi dan resistensi nilai.
Tetapi semata-mata bertahan pada perspektif tersebut akan menghambat pendidikan
budaya itu sendiri dalam proses kontinuitas pendidikan dengan perubahan sosial.
Karena itu dalam discourse filosofis pendidikan yang lain sebagaimana telah
menjadi pemikiran umum (common sense), pendidikan dipahami dalam konteks
dialektika budaya. Dengan demikian pendidikan diharapkan mempunyai peran secara
dialektis-transformatif dalam konteks sosio-budaya yang senantiasa menunjukkan
perubahan secara kontinu, sejalan dengan adanya sofistifikasi budaya dan
peradaban umat manusia.
Secara umum perubahan dipahami sebagai terjadinya
perubahan di semua sektor kehidupan masyarakat. Perubahan dapat terjadi di
bidang norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan
stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks ini,
pendidikan perlu ditempatkan sebagai open system (sistem terbuka), bukan
sebaliknya sebagai sistem tertutup (close system), yang membuka dirinya dan
siap melakukan dialog kultural dengan perkembangan. Pendidikan dalam konteks
masa depan, yaitu kontinuitas dengan perubahan dimana dibutuhkan suatu
pandangan yang dapat menjelaskan dan mendudukkan pendidikan secara
sintetik-paradigmatis bahwa disamping dibutuhkan muatan nilai yang solid juga
dibutuhkan keterbukaan secara kreatif dan inovatif dari pendidikan. Disinilah
pendidikan budaya mendapatkan peranannya sebagai antisipasi kebutuhan masa
depan.
Pertama, pendidikan pada dasarnya sebagai suatu
instrumen strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia, diantaranya adalah potensi moral. Potensi moral inilah yang menjadikan
manusia secara esensial dan eksistensial sebagai makhluk religius (homo
religious). Keadaan potensial tersebut, bukanlah sesuatu yang bersifat telah
jadi (state of being), tapi merupakan keadaan natural (state of nature) yang
perlu diproses (state of becoming) dalam konteks budaya secara makro maupun
secara mikro melalui pendidikan. Dengan menyadari dimensi antropologis ini,
maka pendidikan dengan sendirinya perlu mempunyai kerangka nilai dasar
(fundamental values) yang tidak hanya komplementatif, tapi filosofis.
Kedua, meminjam istilah Peter L. Berger, realitas
sosiologis manusia,[4] yang selalu terlibat dengan proses dialekta fundamental
dalam konteks sosiologis masyarakat. Dalam proses semacam itu, manusia secara
dialektikal sebagai subyek yang terlibat secara aktif dan kreatif dengan proses
kebudayaan (kenyataan dunia empirik-obyektif). Efek yang didapat tidak menutup
kemungkinan mendapatkan pengaruh yang baik secara negatif maupun positif. Maka
tidak mungkin dapat berdialektika dalam alur semacam ini tanpa ditopang
kemampuan dan kekuatan pada diri manusia itu sendiri. Ada dua kemampuan dan
kekuatan diperlukan:
(1) Kemampuan dan kekuatan secara etik dan moral yang
digunakan sebagai value judgement dalam menentukan bentuk realitas yang akan
dijadikan ajang keterlibatan dirinya.
(2) Kemampuan dan kekuatan secara intelektual.
Jika yang pertama lebih bersifat defensif, maka yang
kedua lebih bersifat ofensif, dimana manusia dapat melakukan konstruksi budaya
melalui pendidikan yang ia pahami sejak semula. Dua peran tersebut tidak dapat
dilepaskan dari peran pendidikan budaya dalam membentuk karakter bangsa yang
akan memberikan pengayaan dan penguatan (enpowering) secara etik dan moral
serta intelektual.
Pendidikan Karakter
Menurut Sigmund Freud, character is striving sistem with
underly behaviour, karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud dalam
suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang bisa
ditampilkan secara mantap. Karakter juga merupakan internalisasi nilai-nilai
yang semula berasal dari lingkungan menjadi bagian dari kepribadiannya.
Selanjutnya karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita
melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan,
menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku kita. Jadi karena
karakter melandasi sikap dan perilaku manusia, tentu karakter tidak datang
dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibangun, dan ditumbuhkembangkan.
Ada tiga pilar utama yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan karakter seseorang, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga,
sekolah/lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pembentukan karakter tidak akan
berhasil selama ketiga pilar ini tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Pertama, keluarga. Dalam setiap masyarakat, upaya untuk
melanggengkan nilai dan norma yang berlaku pada para anggotanya dilakukan
melalui proses sosialisasi. Tanggung jawab pewarisan nilai serta norma tersebut
diberikan kepada orang tua sebagai wakil generasi sebelumnya kepada
anak-anaknya yang akan melanjutkan generasinya dan berlangsung dalam kehidupan
keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pertama pembentukan watak dan pendidikan
mestilah diberdayakan kembali. Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang
pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalah pendidik
kodrati. Maka dari itu, keluarga merupakan basis dari bangsa, karena sangat
menentukan keadaan bangsa itu sendiri. Bangsa yang besar dan maju hanya dapat
terbentuk melalui keluarga yang dibangun atas dasar mawaddah wa rahmah. Makanya
tidak mengherankan jika Gilbert Highest seorang psikolog yang juga seorang
pendidik menyatakan bahwa kebiasaan anak-anak sebagian besar terbentuk oleh
pendidikan keluarga.
Kedua, sekolah/lembaga pendidikan. Sejalan dengan fungsi
dan peranannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut
dari pendidikan keluarga. Sekolah pada hakikatnya bukan sekedar tempat transfer
knowledge, tetapi juga dapat dipahami sebagai proses penanaman nilai dari satu
generasi ke generasi berikutnya; proses pengembangan potensi seseorang untuk
mencapai kematangan diri (kedewasaan); dan proses enobling (pemartabatan,
pemuliaan) manusia. Pembentukan karakter di lingkungan sekolah dapat dilakukan
melalui langkah-langkah sosialisasi dan membiasakan penerapan nilai-nilai
akhlak dan moral dalam perilaku sehari-hari, menjelaskan kepada anak didik
tentang berbagai nilai-nilai yang baik dan yang buruk serta akibatnya bila
melakukannya, dan menerapkan pendidikan berbasis karakter (character based
education) kepada setiap mata pelajaran yang ada selain mata pelajaran tertentu
seperti pelajaran agama dan pancasila.Ketiga, masyarakat. Lingkungan masyarakat
jelas lebih luas dan memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai estetika dan etika. Dalam artian yang lebih luas dapat diartikan
bahwa pembentukan karakter seseorang tergantung dari pembentukan nilai-nilai,
moral dan spiritual jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai tersebut. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh
masyarakat terhadap pertumbuhan karakter seseorang sebagai bagian aspek
kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Dengan demikian, fungsi
dan peran masyarakat dalam pembentukan karakter akan sangat tergantung dari
seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma nilai-nilai, moral dan
spiritual itu sendiri.
b. Langkah-langkah
apakah yang harus ditempuh dalam pengembangan kurikulum agar konsep
multicultural education dapat diimplementasikan?
Jawab
Peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran
yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Globalisasi mengandung arti
terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi
menjadi penting. Globalisasi sebagai
intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan komunitas lokal
sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang jauh bisa
dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula, dan
sebaliknya. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses
(atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial
organization dari hubungan sosial dan transaksi (ditinjau dari segi
ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampak-nya yang memutar) mobilitas antar
benua atau antar regional.
Dalam kehidupan global,
batas-batas negara secara fisik geografik menjadi tidak penting lagi. Justru
faktor yang paling penting bagi eksistensi suatu bangsa adalah dikuasainya
teknologi informasi. Dengan adanya berbagai penemuan dalam bidang teknologi
informasi, kekuasaan negara dalam arti teritorial menjadi semakin kabur. Di
sisi lain, dengan teknologi, kita juga dapat membelajarkan diri dalam suatu
proses pendidikan yang bersifat maya (virtual). Hal ini membawa implikasi bahwa
pendidikan nasional kita harus mampu mempersiapkan bangsa ini menjadi komunitas
terberdayakan dalam mengha-dapi kehidupan global yang semakin lama semakin
menggantungkan diri pada teknologi informasi. Kondisi ini pada akhirnya juga
berakibat pada sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengutamakan pada
pola kehidupan atas dasar prinsip interdependensi. Dunia pendidikanpun tak luput dari imbas dan
pengaruh yang dihembus-kan oleh globalisasi. Paling tidak, ada tiga perubahan mendasar yang
akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan
menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham
neo-liberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersil adalah usaha
mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara kontinyu.
Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya
non-komersial menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Tidak heran apabila
sekolah masih membebani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang
komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun pemerintah sudah
menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti
IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan
harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang
diamandemen, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan PP Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, telah melahirkan paradigma baru
pendidikan nasional yang desentralistis dengan MBS sebagai salah satu model
dalam upaya mengembangkan ke-bhinekaan yang demokratis agar mampu menghadapi
kehidupan global yang kompetitif namun tetap dalam kerangka NKRI. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokalisasi
dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru,
seperti komputer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner
dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfaatan multimedia yang portable
dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di
dunia persekolahan kita sekarang.
Wacana multikulturalisme
untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang
otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik
antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan
kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak
semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi
Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat
Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog
UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab
tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah
idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat
dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesuku
bangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu
dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial.
Pendidikan multikultural merupakan sebuah konsep yang
bertujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan
penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa
agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik
serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga
dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang
berjalan untuk kebaikan bersama. Sehingga mencerminkan keseimbangan antara
pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk
mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan
pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan
yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis
dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya,
di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga
memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama
serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan
keputusan secara demokratis.
Wacana pendidikan
multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat,
merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan
transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua
dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan
mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar
lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang
lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya
sistem sosial yang lebih berkeadilan. Pendidikan
Multikultural dalam Pembelajaran
Berangkat dari pluralisme budaya dan pendidikan
konstructivisme maka dalam pengelolaan pendidikan harus berangkat dari suatu
keyakinan bahwa setiap warga masyarakat memiliki konstruk mereka mengenai
identitas budaya yang mereka pilih. Dengan demikian maka pendidikan harus
membuka pengakuan dan keterbukaan bagi masyarakat untuk mengekspresikan symbol
dan lambing-lambang partikularitas budaya mereka.
Di level sekolah maka pelajar atau siswa di beri ruang
untuk menciptakan struktur pengetahuan dan konstruks tentang identitas budaya
mereka sendiri. Perspektif ini mengimplementasikan keharusan menerima keragaman
konstruks siswa, karena memang siswa sekolah datang dari berbagai latar
belakang nilai, keyakinan dan kultur, etnisitas, ideology maupun agama. Dalam
konteks inilah maka pendidikan tidak bsa di kemas dengan cara monokultur,
melainkan tetap harus menyediakan ruang bagi siswa untuk bisa memasuki arus
transformasi social yang menuntut egalitarian, demokratisasi dan keadilan di
tengah pluralitas budaya. Dengan demikian yang mendesak dalam pengembangan
pendidikan multikutural pertama-tama adalah penyadaran akan pentingnya
nilai-nilaimyang menopang budaya plural. Nilai-nilai itu harus dikembangkan
menjadi bagian dari budaya sekolah. Artinya sekolah tidak bisa hanya dikosep
sebagai institusi untuk menguasai pengetahuan dan pengembangan potensi dalam
perspektif monokultur. Institusi pendidikan juga harus menjadi arena bagi siswa
dikembangkan atas dasar prinsip multikultur. Dalam institusi seperti ini
pendidikan menjadi sebuah media menumbuhkan seperangkat nilai pluralisme,
seperti cara memberikan penghargaan terhadap diri sendiri secara adil. Dari
cara menghargai diri sndiri yan proposional, akan berdampak kepada cara
bersikap dan menghargai orang lain secara adil pula. Lebih jauh akan tumbuh
kemudian sikap menghormati dan peduli atas hak-hak orang lain yang memiliki
berbagai perbedaan, baik dalam berpendapat, temperamen maupun latar belakang. Kendati
demikian, disamping menumbuhkan kesadaran akan perbedaan, penting untuk ditumbuhkan
nilai-nilai kesederajatan (equality). Dengan pandangan kesederajatan ini,
dikembangkan pemahaman bahwa setiap orang memiliki hal-hak dasar (basic right)
yang sama, tanpa membedakan perbedaan ras, gender, usia, kapasitas, keyakinan
keagamaan, afiliasi politik, kewargaan Negara, wilayah dan latar belakang
mereka. Pengakuan hak-hak dasar yang setara tanpa pandang bulu itu akan
terwujud jika ditanamkan nilai-nilai tanggung jawab social serta tanggung jawab
bersama sebagai sesame anak bangsa. Nilai-nilai yang bisa mendorong sikap
terbuka bagi setiap ornag untuk turut berpartisipasi dalam proses social maupun
politik. Terbukan bagi partisipasi setiap warga dalam memecahkan masalah dan
menciptakan kebaikan bersama. Patut dihargai bahwa kurikulum pendidikan
nasional telah memasukkan pendidikan multikultural sebagai salah satu subyek
pembelajaran soiologi di kelas menengah. Jika standar kompetensi yang
dirumuskan itu berhasil tercapai, maka pendidikan multicultural, masyarakat
yang menjunjung rasa keadilan penegak hokum dan inklusivme. Jika ternyata
pendidikan multicultural ini belum sepenuhnya disadari oleh para actor
pendidikan. Kalau toh sudah disadari, barangkali aspek teknologi pembelajaran
yang ditetapkan belu efektif.
Agar transformasi pendidikan multicultural efektif
Quezada dan room (2004;4) menetapkan empat dimensi pendidikan multicultural
yang harus memperoleh penekanan. Pertama, pembaharuan kurikulum, yang
didalamnya di transformasikan pengetahuan dari hasil penelitian sejarah. Guna
mendapatkan bahan pembelajaran yang menunjang penyadaran pentingnya keterbukaan
menghadapi realitas multicultural, bisa dilakukan dengan mendeteksi bias
berbagai tulisan, media dan bahanbahan pendidikan. Disamping pembaharuan teori
kurikulum itu sendiri.
Kedua, ketika siswa belajar tentang keadilan dan
masyarakat inklusivme, siswa diarahkan kepada tantangan upaya membangun
masyarakat berkeadilan. Ketiga, ketika siswa memperoleh kesempatan meningkatkan
kepekaan dan kompeteni multicultural makakompetensi cultural siswa mencakup
pemahaman akan kultur kelompok etnis,vupaya mereduksi prasangka dan
pengembangan identitas etnis.
Keempat, peningkatan kompetensi multicultural juga
berkaitan dengan pedagogi keadilan, yang terkait dengan iklim disekolah dan
kelas, kinerja siswa, pola budaya dalam mengajar dan pembelajaran.
Dinegara-negara maju, pendidikan multicultural di
transformasikan melalui program service learning sebuah metode pembelajaran
yang didalamnya siswa atau peserta didik belajar dan mengembangkan
kompetensinya dengan cara aktif berpartisipasi dalam praktek pelayanan
masyarakat secara terorganisir. Siswa dalam hal ini mencoba memahami dan
belajar memenuhi kebutuhan masyarakat, bersama masyarakat, meningkatkan
teanggung jawab kewargaan. Siswa diintegrasikan kedalam kurikulum akademik atau
komponen pendidikan program pelayaan masyarakat. Dengan service learning
sekolah mengantarkan siswa kedalampelayanan masyarakat seiring dengan
pencapaian standar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum berupa
tanggungjawab kewargaan dan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Cipolle, service learning ditandai dengan (1)
pembelajaran yang terpusat pada siswa, (2) kolaboratif, (3) pengalaman, (4)
bersifat intelektual, (5) analitikal, (6) multicultural, (7) berbasis nilai dan
(8) didasari semangat aktifitas.
Dengan berbasis pada siswa, berarti siswa dilibatkan
dalam memilih isu-isu yang menjadi focus perhatian serta diminta untuk
menmenjelaskan bagaimana isu-isu tersebut berkaitan dengan kehidupan mereka.
Bersifat kolaboratif, karena dalam service learning, siswa berkolaborasi dengan
rekan-rekan dikelas mereka, dengan pihak-pihak lain disekolah dan yang lebih
penting pada masyrakat yang menerima pelayanan, dalam sebuah kerangka desain
proyek service learing. Menekankan pada pengaaman, dalam artian sisea diajak
aktif dalam upaya memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat, pengembangan
riset dan proyek kegiatan, termasuk aktifitas pelayanan disekolah dan atau
masyarakat. Service learing dilakuakan secara intelektual dalam arti siswa
berusaha mendapatkan berbagai sumber dalam perpektif ganda karena mereka
belajar dan menganalisa isu-isu yang mereka tetapkan. Mereka menggunakan yang
mereka tetapkan. Mereka gunakan ketrampilan dan pengetahuan merencanakan
kegiatan service learning. Dilakukan secara analitik, artinya service learning
mengkaji akar permasalahan yang menjadi penyebab, serta melakukan refleksi
peran mereka dalam pemecahan masalah.
Service learning ditandai dengan princip multikultural
karena siswa menerima oendekatan inkluive dalam menghadapi masalah. Mereka
terbuka menerima perspektif yang beragam dalam menghadapai isu dan problem yang
ada. Termasuk terbka untuk bekerjasama dengan orang lain. Service learning
didasarkan kepada nilai-nilai tertentu, sehingga siswa mendiskusikan masalah
yang ada dalam prespektif nilai-nilai yang dimiliki. Service learning dilakukan
dalam semangat sebagai aktivis, karena siswa dalam hal ini didorong untuk aktif
dalam tindakan langsung, termasuk dalam melakukan advokasi dalam menciptakan
masyarakat berkeadilan.
Pendidikan multikultural dengan demikian bukan sekedar
pengembangan wacana, melainkan ditansformasikan dalam tindakan nyata dan
langsung dapat dirasakan hasilnya, baik oleh siswa itu sendiri maupun oleh
masyrakat. Model pembelajaran multikultural seperti ini tentu saja membutuhkan
kualifikasi tenaga pengajar yang relevan.
Ada enam prinsip yang oleh Renner dkk (2004) harus
dipegang oleh guru dalam mengembangkan pendidikan multikultural.
1. Guru harus memahami dan dapat menerapkan disiplin
ilmu kemanusiaan dan masyarakat untuk memahami makna pendidikan sekolah dalam
konteks budaya yang beraneka ragam.
2. Memahami dan
dapat merapkan prespektif normative ke dalam pendidkan dan sekolah.
3. Memahami dan dapat melaksanakan perspektif kritis
dalam pendidikan dan sekolah.
4. Memahami bagaimana prinsip-prinsip moral berkaitan
dengan isntitusi demkrasi yang dapat dijadikan yang dapat dijadikan bahan
informasi yang berguna untuk mengarahkan praktek sekolah, kepemimpinan dan
pengelolaan pendidikan.
5. Memahami makna perbedaan dalam masyarakat demokrasi
dan bagaimana menjabarkannya dalam tujuan instruksional, kepemimpinan dan
pengelolaan pendidikan.
6. Memahami bagaimana komiten moral mempengaruhi proses
evaluasi pada level praktis sekolah, kepemimpinan dan pengelolaan pendidikan.
2. Landasan ekonomi
a. Setujukah
b. Jelaskan
3. Dalam penyelenggaraan pendidikan
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Negara Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang perlu adanya proses untuk menjadi
maju, salah satu proses tersebut adalah dengan mencerdaskan anak bangsa. Dengan
pendidikan yang bermutu atau berkualitas benarlah yang dapat meningkatkan
kecerdasan anak bangsa. Dari zaman ke zaman sistem kurikulum pendidikan yang
ada Indonesia selalu ada perubahan demi mencerdaskan anak bangsa. Salah satu
sistem kurikulum yang baru saat ini adalah system KTSP (Kurikulum Tingkat
satuan pendidikan). Sejak digulirkan Juni 2006, banyak muncul persoalan dalam
penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu tidak memadainya
kualitas SDM yang mampu menjabarkan KTSP di satuan pendidikan, kurangnya sarana
pendukung kelengkapan pelaksanaan KTSP, belum sepenuhnya guru memahami KTSP
secara utuh, baik dari segi konsep maupun penerapannya di lapangan.
Persoalan-persoalan tadi diperparah oleh tidak sinkronnya materi kurikulum yang
dibuat oleh sejumlah penerbit yang menterjemahkan KTSP ke dalam banyak versi,
sehingga membuat konsentrasi para siswa menjadi semakin terpecah karena harus
membeli buku dalam banyak versi. Lebih dari itu, pengurangan jumlah jam pelajaran
seperti yang diamanatkan oleh kurikulum ini berdampak kepada penghasilan guru,
karena otomatis akan mengurangi penghasilan mereka, terutama guru honorer.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Mengapa KTSP sulit diterapkan di SMAN 1 Kayuagung?
2.
Bagaimana solusi untuk menerapkan KTSP tersebut di SMAN 1 Kayuagung?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui
kendala-kendala mengapa KTSP sulit diterapkan di SMAN 1 Kag
2. Untuk mengetahui
solusi-solusi agar KTSP dapat di
terapkan di SMAN 1 Kag
II. PEMBAHASAN
a.
Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada di daerah. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing- masing satuan pendidikan. Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi (SI), proses, kompetensi lulusan(SKL),
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan
penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut,
yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan
utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Apabila kita
telusuri asbabul furuj KTSP, di mana konsep kurikulum menurut standar nasional
pendidikan merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Konsep ini,
jika ditilik mengadopsi dari konsep Beuchamp (1968:6) bahwa “A curriculum is a
written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan
for the education of pupils during their enrollment in given school”. Beuchamp
lebih memberi penekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau
pengajaran. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003)
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan
mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun
oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada
panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti
ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang
memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan
pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang
terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat
dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus
diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh
hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman
pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat
mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
b. Landasan KTSP



Standar Kompetensi Lulusan (SKL
c.
Tujuan KTSP
Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini
untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan
dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
d.
Prinsip Pengembangan KTSP



e.
Penerapan KTSP di sekolah - sekolah
Penerapan KTSP di SMAN 1 Kayuagung, KTSP
sulit dilaksanakan di SMAN 1 Kayuagung karena keterbatasan kemampuan guru menerjemahkan
KTSP (Drs.Alimin Aslan, Pengawas pembina SMAN 1 Kayuagung). Berdasarkan
pengalaman beliau menjadi pengawas dan melakukan supervisi terhadap guru-guru
yang mengajar di SMAN 1 Kayuagung, selama periode tahun pelajaran 2006 sampai
2010. Silabus yang dibuat guru bukan perwujudan dari KTSP dan pelaksanaan
pembelajaran di kelas-kelas jauh dari ketentuan yang ditetapkan dalam KTSP. Ciri
yang dikembangkan dalam pembelajaran KTSP dan berkaitan dengan filsafat
konstruktivisme.
Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, terutama memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan “proses menjadi”, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan peserta didik itu sendiri yang membentuknya. Di SMAN 1 Kayuagung sebagian besar pola guru mengajar masih menggunakan paradigma mengajar yang lama.
Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, terutama memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan “proses menjadi”, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan peserta didik itu sendiri yang membentuknya. Di SMAN 1 Kayuagung sebagian besar pola guru mengajar masih menggunakan paradigma mengajar yang lama.
Sarana yang belum memadai (standar),
buku-buku yang diberikan kepada siswa kebanyakan tidak sesuai dengan kurikulum.
Hal tersebut menjadi kendala dalam mengimplementasikan KTSP di SMAN 1 Kayuagung
(Dra. Woro Kusdarini, Waka kurikulum SMAN 1 Kayuagung). Sekjen Forum Aspirasi Guru Independen
(FAGI) Iwan Hermawan di sela-sela diskusi mengenai KTSP yang berlangsung di
SMAN 12 Bandung, belum lama ini mengemukakan, deklarasi penggunaan kurikulum
tingkat satuan pendidikan tahun ajaran 2006/2007, pada kenyataannya di
lapangan belum ada satu sekolah pun yang benar-benar mengimplementasikan KTSP
sesuai standar isi yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hampir seluruh guru di Indonesia pada umumnya
dan di kayuagung pada khususnya hanya bisa mengkopi KTSP yang sudah ada untuk
diterapkan di sekolah mereka masing-masing tanpa memperhatikan dan disesuaikan
dengan potensi yang ada disekolah/ daerah tersebut. Implementasi kurikulum
dijelaskan oleh Saylor dan Alexander (1974) dalam Miller and Seller (1985 :
246) sebagai proses menerapkan rencana kurikulum (program) dalam bentuk
pembelajaran, melibatkan interaksi siswa-guru dan dalam konteks persekolahan. Problem
konsep inilah yang bagi pengelola pendidikan sudah melaksanakan KTSP dengan
bukti adanya dokumen yang tersusun rapi. Para supervisor menilai, para
pengelola pendidikan belum menerapkan KTSP sebagaimana yang diharapkan. Di mana
para pengembang kurikulum di satuan pendidikan ternyata belum mengembangkan
KTSP dalam bentuk kurikulum di satuan pendidikan fungsional yang secara riil
dikembangkan dalam pembelajaran. Rencana yang rapi dan sistematis menjadi tidak
bermakna apabila tidak diimplementasikan secara konsisten sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah direncanakannya. Begitu juga dalam problem pendekatan
impelementasi KTSP. Di mana dalam implementasi KTSP sebenarnya lebih cenderung
mengarah pada pendekatan enactment curriculum dibandingkan dengan fidelity
perspective maupun mutual adaptif. Pendekatan enactment pernah dikembangkan
oleh Jackson (1991 : 492) mempunyai ciri utama pelaksana kurikulum melakukan
berbagai upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan kurikulum. Mereka menjadi
kreator dalam implementasi kurikulum, yang nantinya kurikulum sebagai proses
akan tumbuh dan berkembang dalam interaksi guru dan siswa. Terutama dalam
membentuk kemampuan berpikir dan bertindak. Sampai saat ini kenyataannya di
SMAN 1 Kayuagung belum benar- benar mengimplementasikan KTSP sesuai standar isi
yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan(BSNP). Munculnya
persoalan-persoalan tadi disebabkan oleh tidak siapnya pemerintah membuat
strategi implementasi kebijakan di atas, misalnya kurang diantisipasi kesiapan
tenaga pendidik dan kurangnya sosialisasi sampai ke seluruh pelosok tanah air.
KTSP yang juga merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan konsep ini, meski bukan format satu-satunya untuk mengantisipasi permasalahan pendidikan, namun secara umum, KTSP bisa ‘diandalkan’ menjadi patokan menghadapi tantangan masa depan dengan pembekalan keterampilan pada peserta didik. Keunggulan lain, KTSP memiliki kemampuan beradaptasi dengan daerah setempat, karena keterampilan yang diajarkan berdasarkan pada lingkungan dan kemampuan peserta didik. Di samping itu juga adanya penghargaan bagi pribadi peserta didik. Peserta didik yang mampu menyerap materi dengan cepat akan diberi tambahan materi sebagai pengayaan, dan peserta didik yang kurang akan ditangani oleh guru dengan penuh kesabaran dengan mengulang materinya atau memberi remedial. Peserta didik juga diajak bicara, diskusi, wawancara dan membahas masalah-masalah yang kontekstual, yang dalam kenyataannya memang diperlukan sehingga peserta didik menjadi lebih mengerti dan menjiwai permasalahannya karena sesuai dengan keadaan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Peserta. didik tidak hanya dituntut untuk menghafal namun yang lebih penting sudah adalah belajar proses sehingga mendorong peserta didik untuk meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kesulitan yang mungkin saja timbul dari pelaksanaan KTSP ini adalah diperlukannya waktu yang cukup oleh pendidik dalam membina perkembangan peserta didiknya, terutama peserta didik yang berkemampuan di bawah rata-rata. Kenyataan membuktikan, kondisi sosial dan ekonomi yang menghimpit kesejahteraan hidup para guru, menyebabkan mereka kurang berkonsentrasi dalam proses pembelajaran. Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah. Ini artinya, KTSP menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat kurikulum sendiri.
Kendala lain, KTSP menuntut kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran berbasis kompetensi dengan merencanakan sendiri bagaimana strategi yang tepat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah setempat. Di samping masalah fasilitas pendidikan di sekolah yang masih sangat minim. Padahal konsep ini lebih menitikberatkan pada praktek di lapangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dibanding teori semata. Kendala lain yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assessment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengajarnya.
Berkenaan dengan tidak adanya target materi dalam KTSP, di satu pihak KTSP menekankan kompetensi peserta didik yang berarti proses belajar harus diperhatikan oleh guru, di pihak lain materi meskipun tidak diprioritaskan tetapi akhirnya harus diselesaikan juga. Dengan demikian guru harus berpacu dengan waktu, sementara proses belajar tidak dapat dipastikan keberhasilannya. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil belajar peserta didik yang dibinanya, yang berujung pada penolakan kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN) sebagai dasar penentuan kelulusan peserta didiknya.
f.
Sebab -
sebab KTSP tidak dapat diterapkan
di SMAN 1 Kayuangung
1) KTSP, Kurikulum yang tidak logis.
Ketidaklogisan KTSP terjadi karena sekolah diberi kebebasan untuk mengelaborasi
kurikulum inti yang dibuat pemerintah, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah
melalui ujian nasional (UN) justru paling menentukan kelulusan siswa.
2) Keterbatasan kemampuan guru
menerjemahkan KTSP dengan pola mengajar paradigma lama.
3) Kurangnya sarana dan prasarana yang
mendukung terlaksananya KTSP.
g.
Solusi dari permasalahan yang di
hadapi dalam penerapan KTSP di SMAN 1 Kag
Segala
persoalan yang muncul akibat penerapan KTSP ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah (Depdiknas) agar
tidak menambah daftar carut marut wajah pendidikan di Indonesia. Ada beberapa
kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dan SMAN 1 Kayuagung yaitu
sebagai berikut:
1) Penentuan kelulusan siswa tidak
harus berpatokan pada hasil nilai UN yang ditetapkan pemerintah tetapi
dikembalikan pada guru yang mengajar di sekolah Seharusnya pemerintah hanya
menetapkan kerangka umum dari tujuan atau kompetensi, isi, strategi, dan
evaluasi, sedangkan pengembangannya secara rinci menjadi siap pakai diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah. KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan
peserta didik dengan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BNSP. Sekolah
dan komite sekolah mengembangkan KTSP dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar
kurikulum dan standar kompetensi kelulusan, dibawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan (SD, SMP, SMA, SMK)
dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama (MI, MTs, MA).
2) Guru
Sebagai Fasilitator Dalam Membantu Peserta Didik Membangun Pengetahuan
Salah satu ciri pembelajaran efektif adalah mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya (Dit-PLP, 2003). Ciri inilah yang dikembangkan dalam pembelajaran KTSP dan berkaitan dengan filsafat konstruktivisme.
Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, terutama memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan “proses menjadi”, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan peserta didik itu sendiri yang membentuknya.
Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator atau moderator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya. Guru juga mengevaluasi apakah gagasan peserta didik itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak. Sedangkan tugas peserta didik aktif belajar, mencerna, dan memodifikasi gagasan sebelumnya. Dalam KTSP dianut bentuk pembelajaran yang ideal yaitu pembelajaran peserta didik aktif dan kritis. Peserta didik tidak kosong, tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk berkembang. Maka modelnya adalah model dialogis, model mencari bersama antara guru dan peserta didik. Peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap kurang tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Dalam KTSP, pendidikan yang benar harus membebaskan peserta didik untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang.
Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktor atau selalu memberi instruksi dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten.
Salah satu ciri pembelajaran efektif adalah mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya (Dit-PLP, 2003). Ciri inilah yang dikembangkan dalam pembelajaran KTSP dan berkaitan dengan filsafat konstruktivisme.
Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, terutama memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan “proses menjadi”, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan peserta didik itu sendiri yang membentuknya.
Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator atau moderator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya. Guru juga mengevaluasi apakah gagasan peserta didik itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak. Sedangkan tugas peserta didik aktif belajar, mencerna, dan memodifikasi gagasan sebelumnya. Dalam KTSP dianut bentuk pembelajaran yang ideal yaitu pembelajaran peserta didik aktif dan kritis. Peserta didik tidak kosong, tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk berkembang. Maka modelnya adalah model dialogis, model mencari bersama antara guru dan peserta didik. Peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap kurang tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Dalam KTSP, pendidikan yang benar harus membebaskan peserta didik untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang.
Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktor atau selalu memberi instruksi dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten.
3) Perlunya diagendakan
pelatihan-pelatihan kemampuan paedagogis guru di SMAN 1 Kayuagung
4) Menyediakan sarana dan prasarana
yang mendukung terlaksananya KTSP. Kebijakan-kebijakan tersebut harus
senantiasa diobservasi dan evaluasi pelaksanaannya di lapangan, agar kebijakan
itu benar-benar mencapai tujuan yang diinginkan pemerintah.
III. KESIMPULAN
KTSP adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing- masing satuan
pendidikan. Proses penerapan KTSP belum terlaksanakan sepenuhnya dan memang
sulit untuk penerapannya. Hal ini disebabkan oleh:
a.
KTSP, Kurikulum yang tidak sistematis.
b.
Kemampuan guru yang rendah dalam menerjemahkan KTSP
c.
Tidak siapnya pemerintah membuat strategi implementasi
kebijakan, misalnya kurang diantisipasi kesiapan tenaga pendidik dan kurangnya
sosialisasi sampai ke seluruh pelosok tanah air.
d.
Kurangnya sarana dan
prasarana yang mendukung terlaksananya KTSP.
Kebijakan-kebijakan yang harus
dilakukan oleh pemerintah dan SMAN 1 Kayuagung dalam mengatasi masalah
penerapan KTSP di sekolah adalah:
a. Penentuan kelulusan siswa tidak
harus berpatokan pada hasil nilai UN yang ditetapkan pemerintah tetapi dikembalikan pada guru
yang mengajar di sekolah tersebut.
b. Mengagendakan pelatihan kemampuan
paedagogis guru di SMAN 1 Kayuagung
c. Menyediakan sarana dan prasarana
yang mendukung terlaksananya KTSP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar